Jual Beli Terlarang

BAB I

PENDAHULUAN

Pada saat ini yang kita ketahui banyak sekali kegiatan jual beli yang berlaku baik dipasar bebas maupun di pasar dalam negeri ini tidak semaksimal dalam penerapan didalam perekonomian islam ,karena islam pada saat ini hanyalah sebagai sebuah agama yang digunakan untuk identitas saja , tetapi tidak sepenuhnya diterapkan didalam kehidupan yang sebenarnya yang diperintahkan didalam islam itu sendiri , baik untuk kegunaan rohani dan juga hubungan berinteraksi dengan manusia.

Secara kita melihat di kegiatan perekonomian , khususnya di Indonesia sendiri perekonomian yang sedang ambruk dan kacau seperti yang kita rasakan sekarang ini banyak rakyat kecil dan dibawah tidak dapat merasakan kekayaan yang ada di bumi nya sendiri .

Untuk lebih spesifikasi lagi kami melihat kegiatan didalam pasar , banyak kegiatan jual beli yang sudah lari dari hukum dan etika didalam jual beli tersebut , seharusnya didalam kegiatan jualbeli itu harus ada kejelasan dari apa yang diperjual belikan tersebut baik itu kejelasan dari kadar barang, bentuk dan waktunya ,tetapi kenyataan nya tidak seperti itu , para pedagang hanya memikirkan keuntungannya saja dan tidak memikirkan halal dan haram dari kegiatan tersebut. Baik disini saya akan membahas tentang salah satu jual beli yang dilarang karena proses dari kegiatan jual beli yaitu jual beli yang dilarang karena mengandung Gharar ( samara-samar ).

BAB II

Pembahasan

Jual Beli Terlarang (Gharar)

A. Definisi Gharar

Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan) [1]. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah) [2]. Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian[3]. Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian.[4] Baik karena objek, atau ketidak pastian dalam cara pelaksanaannya.

Adapun menurut imam sarakhsi dalam kitab al-mabsuth gharar adalah keadaan yang akibatnya tertutup ( tidak diketahui). Sedang kan imam al-kasani dalam kitabnya bada’i al-shona’i, yang disebut dengan gharar adalah bahaya atau resiko yang tidak ada , ia seperti keragu-raguan.

Adapun menurut imam al-babarti dalam kitabnya al-inayah megatakan bahwa gharar adalah segala keadaan yang kamu tidak ketahui. Sementara ibnu abidin menyatakan gharar adalah keragu-raguan yang mengenai keadaan barang yang dijual.oleh karena itu substansi gharar adalah ketidak pastian wujud / exsistensi atau ketidaannya suatu barang yang dijual (ba’i ma’dum ) dan ketdak pastian sifat dari barang yang mungkin ada ( jahalah).

Gharar juga dapat diartikan sebagai tipuan,artinya setiap sesuatu yang mengandung unsur tipuan dan muslihat serta mengelabuhi orang / pihak lain disebut gharar. Bahaya disini sesungguhnya belum tahu pasti, meskipun secara logika dan pengalaman empiris hal itu dapat diketahui, namun kejadian sebenarnya dan seberapa besar hakekatnya belum dapat diketahui dan bisa dipastikan. Seseorang yang melakukan sesuatu yang mengandung gharar dapat diartikan ia telah dimana bahaya dan resiko buruk kemunginan besar akan menimpanya, namun seberapa intensitasnya belum dapat diukur.

B.Hukum Gharar

Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar[5]

Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya.

“Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [Al-Baqarah : 188]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [An-Nisaa : 29]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini. [6]Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [Al-Maidah : 90]

Sedangkan jula-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an.[7]

C.Hikmah Larangan Jual Beli Gharar

Diantara hikmah larangan julan beli ini adalah, karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada pihak lain.[8] Larangan ini juga mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat jenis jual beli ini.

D.Pentingnya Mengenal Kaidah Gharar

Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan :“Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung” [9]

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah telah mencegah (kita) dari (melakukan) jual beli (dengan cara lemparan batu kecil) dan jual beli barang secara gharar.”

(Shahih: Muktashar Muslim no: 939, Irwa’ul Ghalil no: 1294, Muslim III: 1153 no: 1513, Tirmidzi II: 349. no: 1248, ‘Aunul Ma’bud IX: 230 no: 3360, Ibnu Majah II: 739 no: 2194 dan Nasa’i VII: 262).

Imam Nawawi dalam Syarhu Muslimnya X: 156 menjelaskan “Adapun larangan jual beli secara gharar, merupakan prinsip yang agung dari sekian banyak prinsip yang terkandung dalam Bab Jual Beli, oleh karena itu, Imam Muslim menempatkan hadits gharar ini di bagian pertama dalam Kitabul Buyu’ yang dapat dimasukkan ke dalamnya berbagai permasalahan yang amat banyak tanpa batas, seperti, jual beli budak yang kabur, jual beli barang yang tidak ada, jual beli barang yang tidak diketahui, jual beli barang yang tidak dapat diserahterimakan, jual beli barang yang belum menjadi hak milik penuh si penjual, jual beli ikan di dalam kolam yang lebar, jual beli air susu yang masih berada di dalam tetek hewan, jual beli janin yang ada di dalam perut induknya, menjual sebagian dari seonggok makanan dalam keadaan tidak jelas (tanpa ditakar dan tanpa ditimbang), menjual satu pakaian di antara sekian banyak pakaian, menjual seekor kambing di antara sekian banyak kambing, dan yang semisal dengan itu semuanya. Dan, semua jual beli ini bathil, karena sifatnya gharar tanpa ada keperluan yang mendesak.”

Selanjutnya, beliau (Nawawi) berkata : “Kalau ada hajat yang mengharuskan melakukan gharar, dan tertutup kemungkinan untuk menghindarinya, kecuali dengan amat sulit sekali, lagi pula gharar tersebut bersifat sepele, maka boleh jual beli yang dimaksud. Oleh sebab itu, kaum muslim sepakat atas bolehnya jual beli jas yang di dalamnya terdapat kapas yang sulit dipisahkan, dan kalau kapasnya dijual secara terpisah justru tidak boleh.”

“Ketahuilah bahwa jual beli barang secara mulamasah, secara munabadzah, jual beli barang secara habalul habalah, jual beli barang dengan cara melemparkan batu kecil, dan larangan itu semua yang terkategori jual beli yang ditegaskan oleh nash-nash tertentu maka semua itu masuk ke dalam larangan jual beli barang secara gharar. Akan tetapi jual beli secara gharar ini disebutkan secara sendirian dan ada larangan secara khusus, karena praktik jual beli gharar ini termasuk praktik jual beli jahiliyah yang amat terkenal.

E. Pembagian Dan Jenis Gharar
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.

1. Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah (janin dari hewan ternak).

2. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang : “Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah”, tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : “Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.

3. Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri.[10] Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.

Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar. Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.[11]

Syaikh As-Sa’di menyatakan : “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli ma’dum (belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya” [12]

Klasifikasi gharar

Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahasan gharar yaitu konsep game, zero sum-game, normal exchange (konsep pertukaran normal) dan konsep resiko.

a. Game

Yang dimaksud adalah sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qashd al-ribh (transaksi pengganti dengan keuntungan).

b. Zero Sum Game

Seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah konsep permainan yang hanya menghasilkan output win-lose (menang-kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak adalah secara terbalik kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Dalam ungkapan Friedman (1990, h. 20-21) bahwa zero sum-game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerjasama. Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi).[13] juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif. Disamping itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak.

c. Normal Exchange

Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan kepuasaan bagi kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal ini dapat dicapai jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan konsumen lebih besar dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual.

Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan konsumsinya adalah memaksimumkan kepuasaan materiil saja. Berarti seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh kepuasaan selalu menggunakan kerangka rasionalitas (bersifat duniawi).[14] Dan dari pandangan lain utiliti ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan digunakan serta dapat bermanfaat.[15]

Dimana menurut Islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori konsumsi tujuannya adalah untuk memperoleh maslahah terbesar, sehingga ia dapat mencapai kemenangan dunia dan akhirat serta kesejahteraan jadi tidak hanya kepuasaan materiil saja. Dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemasalahatan, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan.[16] Jadi utilitas individu dalam islam sangat tergantung pada utility individu lainnya (interpendent utility) sehingga dapat terbentuk kemaslahatan.

d. Risk Concept

Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko. Menurut Knight (1921) risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur.

Karenanya, risiko ini dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis. Sementara itu dalam paper al-Suwailem (1999-2000) menggunakan kata risiko untuk segala sesuatu yang tejadi secara tidak pasti di masa depan. Ia membaginya dalam 2 kategori, yaitu:[17]

a. Pasive risk, yaitu risiko yang terjadi di mana benar-benar tidak terdapat perkiraan dan perhitungan yang dapat dipakai. Jadi, hal ini benar-benar suatu teka-teki yang sama sekali tidak diketahui jawabannya. Perkiraan atas risiko ini hanya mengandalkan keberuntungan (game of chance), karenanya seseorang hanya dapat bersifat pasif.

b. Responsive risk, yaitu risiko yang munculnya memiliki penjelasan kausalitas dan memiliki distribusi probabilitas. Risiko jenis ini, karenanya dapat diperkirakan dengan menggunakan cara-cara tertentu. Memperkirakan risiko responsive ini sering disebut pula game of skill, karena perkiraanya didasarkan atas skill tertentu.

Dalam Islam risiko bisa terjadi dalam sistem profit-share (bagi hasil) kontrak Mudharabah dan Musyarakah, tidak terdapat suatu fixed and certain return sebagaimana dengan konsep bunga, tetapi dilakukan loss and profit sharing berdasarkan produktifitas nyata dari dana tersebut.[18] Meskipun nisbah bagi hasil disepakati pada saat awal, tetapi perolehan riil dari bagi hasil ini baru diketahui setelah dana benar-benar menghasilkan. Jadi, hal yang bersifat pasti dari sistem ini adalah nisbah bagi hasilnya, bukan nilai riil bagi hasilnya. Terdapat kemungkinan fluktuasi dalam bagi hasil yang nyata, tergantung pada produktifitas nyata dari pemanfaatan dana.[19]

Berkaitan dengan risiko, dimana risiko responsif, yang memungkinkan adanya distribusi probabilitas hasil keluaran dengan hubungan kausalitas yang logis. Hal ini biasa diasosiasikan dengan game of skill. Hubungan antara game of chance dengan game of skill, menunjukkan hubungan suatu transaksi investasi itu halal atau haram (dibolehkan atau dilarang).[20] Secara ringkas dapat disimpulkan dalam tabel sbb :


Tergantung pada hasil

Tidak tergantung pada hasil

Dengan adanya upaya (game of skill)

Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90

Diperbolehkan/ Lawfull

Tanpa adanya upaya (game of chance)

Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90

Diperbolehkan/ Lawfull

F. Gharar Yang Diperbolehkan
Jual-beli yang mengandung gharar, menurut hukumnya ada tiga macam.

1. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).

2. Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.

Imam An-Nawawi menyatakan, pada asalnya jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini. Maksudnya adalah, yang secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Menurut ijma’, semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama menukilkan ijma tentang bolehnya barang-barang yang mengandung gharar yang ringan. Di antaranya, umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah[21]

Ibnul Qayyim juga mengatakan : “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya”.[22]

Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan, karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya.[23]

Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang ringan, atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh karena itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan susah, atau ghararnya ringan. [24]

3. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya.

Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka –diantaranya Imam Malik- memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan untuk dilepas darinya, shingga mengharamkannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Dalam permasalahan ini, madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan melakukan jual-beli perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya” [25]

Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan, jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena ghararnya ringan, dan tidak mungkin di lepas. [26]

BAB III

Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi jelaslah, bahwa tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang. Permasalahan ini, sebagaimana nampak dari pandangan para ulama, karena permasalahan yang menyangkut gharar ini sangat luas dan banyak.

Jual beli barang secara mulamasah, secara munabadzah, jual beli barang secara habalul habalah, jual beli barang dengan cara melemparkan batu kecil, dan larangan itu semua yang terkategori jual beli yang ditegaskan oleh nash-nash tertentu maka semua itu masuk ke dalam larangan jual beli barang secara gharar. Akan tetapi jual beli secara gharar ini disebutkan secara sendirian dan ada larangan secara khusus, karena praktik jual beli gharar ini termasuk praktik jual beli jahiliyah yang amat terkenal.


Ref :

Prof.Dr.Amir Syahrifuddin,Garis-Garis Besar Fiqh, penerbit; pranada media, bogar,2003

Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri, Min Hajatul Muslimin, Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, penerbit; darul haq, Jakarta,2008

Al Imam Asy Syaukani, Mukhtasaar Nailul Authar, pustaka azzam, Jakarta,2006






[1] . Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648

[2] . Majmu Fatawa, 29/22

[3] . Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail. Hal.164

[4] . Al-Waaji Fi Fiqhu Sunnah wa kitab Al-Aziz, Abdul Azhim Badawi, Cet. I, Th.1416H, Dar Ibnu Rajab, Hal. 332

[5] . HR Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab : Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai Alladzi Fihi Gharar, 1513

[6] . Majmu Fatawa, 29/22

[7] . Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal. 342

[8] . Bahjah, Op.Cit, 165

[9] . Syarah Shahih Muslim, 10/156

[10] . Catatan Penulis dari pelajaran Nailul Authar yang disampaikan Syaikh Abdulqayyum bin Muhammad As-Sahibaani di Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah, Lihat juga Al-Fiqhu Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu’amalah, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayaar, Prof. Dr Abdullah bin Muhammad Al-Muthliq dan Dr Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cet. I, Th. 1425H, hal. 34

[11] . Catatan penulis dari pelajaran Bidayatul Mujtahid, oleh Syaikh Hamd Al-Hamaad, di Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah, KSA.

[12] . Bahjah, Op.Cit,. 166

[13] . Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-bank Asing. Mgyasni.niriah.com

[14] . Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004. hal 193

[15]. al-Jamal, Muhammad Abdul Mun’im. Ensiklopedi Ekonomi Islam. Terjemahan. Selangor Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1997. hal 555.

[16] . Adiwarman, Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. hal 62

[17] . Priyonggo & Yudho. Risk and Return Analysis of Investment on Islamic Banking: The Application of VaR and RAROC Methods on Bank Syariah Mandiri. Kolokium SBM ITB, Oktober 2008.

[18] . Muhammad. Kontruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2005.

[19] . M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, cet. I (Yogyakarta: EKONOSIA, Oktober 2003), hal. 250

[20] . Muhammad. Dasar-dasar Keuangan Islam. Cet pertama. Yogyakarta: Ekonisia FE UII, 2004. hal 107.

[21] . Majmu Syarhu Al-Muhadzab, Imam An-Nawawi, 9/311

[22] . Zaadul Ma’ad, 5/727

[23] . Syarh Syahih Muslim, 10/144

[24] . Majmu Syarhu Al-Muhadzab, 9/311

[25] . Majmu Fatawa, 29/33

[26] . Zaadul Ma’ad, 5/728