Hak azasi manusia dan kemanusiaan

1. pendahuluan

Sebagaimana sering kita dengar, HAM sering di sandarkan pada sisi nilai. Sesuatu yang dinilai baik dikatakan sebagai hal yang bersesuian dengan HAM. Demikian sebaliknya, sesuatu tersebut akan di nilai buruk apabila ia tidak bersuaian dengan HAM. Para politisi menyalak, bahwa mereka akan mengedepankan hak-hak azasi manusia dalam setiap kebijakannya. Para korban kekerasan, baik oleh negara maupun individu, berteriak menuntut dihargainya HAM mereka. Para artis menuntut wartawan-wartawan gosip menghargai HAM mereka. Semua orang begitu berharap HAM mereka tidak dilanggar oleh orang lain. Tetapi apa sebenarnya HAM itu, seperti apa sejarahnya, lalu bagaimana orientasinya? Untuk menjawabnya, penulis megambil referensi tulisan ini dari beberapa sumber
Pembahasan
“man is born free and everywhere he is in chains,” demikian kata Jean Jaques Rousseau mengenai hak azasi manusia, bahwa dimanapun anak manusia itu di lahirkan, pada dasarnya, ia dalam keadaan merdeka. Manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus dijamin segala kebebasannya, kecuali yang bersinggungan dengan kebebasan orang lain. Masyarakat dipandang terdiri dari sekumpulan manusia yang ingin mewujudkan tujuan bersama sehingga bersedia hidup bersama dengan sebuah aturan.
Dalam Ensiklopedi Wikipedia (en.wikipedia.org), istilah HAM dikatakan mengacu pada konsep bahwa manusia memiliki hak-hak universal atau status yang tidak bergantung pada hukum formal (legal jurisdiction) di suatu negara, juga tidak bergantung pada ras, kebangsaan dan jenis kelamin. Dalam pemikiran politik Barat, ide tentang hak-hak azasi manusia bersumber dari ide “hak alamiah”. Ide ini mengemukakan tentang prinsip bahwa segala sesuatu ada karena begitulah adanya. Teori ini awalnya dilontarkan oleh Aristoteles, lalu dikembangkan oleh Thomas Aquinas dalam konteks Eropa-Kristen, kemudian dikembangkan lagi oleh para pemikir teori Kontrak Sosial—yaitu Hobbes, Locke, dan Rousseau—yang juga pemikir paham liberal. Seperti apa yang di katakan oleh John Locke tentang hal ini, bahwa “asalnya merupakan campuran, di mana sekolah-sekolah filsafat pada abad ke delapan belas sama-sama menjadikannya tempat minum (rujukan)……dan ia adalah ibu kandung dari sekolah hak alami…”
Ide hak alami ini memiliki pemahaman bahwa, individu lebih di dahulukan atau di prioritaskan dari pada eksistensi politik. Karenanya negara diberi tanggung jawab untuk menghormati hak-hak dan kebebasan individu, dan mencegah terjadinya pelanggaran atas hak dan kebebasan individu itu. Selain itu hak alami juga berarti, penetapan kebebasan kaedah eksistensi politik mencakup pembatasan negara, dan menghalangi negara bertindak di luar hukum dengan membatasi kebebasan individu.
Beberapa aliran kebebasan individu membela sikap negatif negara dengan mengatakan, ”sesungguhnya aliran kebebasan sudah disepakati, dan pandangan dinamis terus berkembang, atau ide seleksi alam telah di sepakati Darwin. Eksistensi alamiah, seperti yang mereka katakan tidak lain merupakan salah satu bentuk dari aktifitas seleksi alam. Hasil alami dari aktifitas itu adalah kemajuan. Dan ketika intervensi negara akan menghalangi kemajuan itu, maka individu masyarakat wajib menjalankan kehidupan mereka tanpa bantuan apapun dari pemerintah, atau terbebas dari kekuasaan pemerintah.” Jadi, bentuk campur tangan apapun dari pemerintah, menurut pendapat ini, adalah suatu kemandegan dan tak memiliki tempat apabila bertentangan dengan kebebasan individu.

Hak alami dan liberalisme
Sama dengan konsep hak alami, Liberalisme berakar di Eropa Barat pada Abad Pertengahan, lalu berpuncak di era Pencerahan. Sebagai sebuah pandangan filsafat dan politik, liberalisme menjadikan kebebasan sebagai nilai politik yang paling utama. Seperti dikatakan Lord Acton, kebebasan bukanlah sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih tinggi; justru kebebasan itulah yang menjadi tujuan politik tertinggi. Perpaduan pemikiran teori hukum alam (hak alami) dan liberalisme ini melahirkan kredo bahwa manusia pada dasarnya baik. Adapun kejahatan yang dilakukan manusia terjadi karena adanya pengekangan terhadap manusia. Karena itu, agar manusia bisa memperlihatkan sifat aslinya yang baik, manusia harus di beri kebebasan.
Dalam konteks sosial dan kemasyarakatan liberalisme meyakini bahwa individu-individu yang bebas merupakan pondasi masyarakat yang baik. Ini merupakan buah pikiran Locke yang tertuang dalam Two Treatises on Governement (1690), yang berbicara perihal dua konsep dasar kebebasan: (1) kebebasan ekonomi, yaitu hak untuk memiliki dan menggunakan kepemilikan; (2) kebebasan intelektual, di dalamnya termasuk kebebasan berpendapat. Pemikiran khas empirisisme dari Locke inilah yang menjadi pelopor lahirnya konsepsi modern HAM. Gagasan tersebut juga berperan penting sebagai jastifikasi teoretis dan ideologis bagi lahirnya Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789).
Pada abad ke-18 dan ke-9, para filosof seperti Thomas Paine, John Stuart Mill dan Hegel mengembangkan keuniversalan konsep kebebasan itu. Henry David Thoreau, penulis, filosof, dan naturalis Amerika penjunjung individualisme, menulis On the Duty of Civil Disobedience (1849) yang kemudian sangat mempengaruhi para pemikir HAM; termasuk menginspirasi perjuangan Mahatma Gandhi untuk melawan Inggris dan perjuangan para aktivis hak asasi melawan diskriminasi ras di AS.
HAM menjadi peraturan internasional setelah Perang Dunia I, dan setelah berdirinya PBB, yaitu pada saat diumumkannya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia pada 1948. Pada 1961 terbit pula Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada 1966, diumumkan pula Perjanjian Internasional tentang HAM, Ekonomi, Budaya, dan Sosial.
Sejak menjadi adikuasa tunggal, AS kemudian menjadikan HAM sebagai peraturan universal, yaitu peraturan yang tak hanya diadopsi oleh negara sebagai institusi, tetapi juga oleh rakyat setiap negara di seluruh dunia. Pada 1993, dua tahun setelah bubarnya Uni Soviet, di Wina diadakan konferensi tentang HAM untuk organisasi-organisasi non-pemerintah yang menghasilkan Deklarasi Wina Tentang HAM Bagi NGO. Deklarasi ini menegaskan keuniversalan HAM dan keharusan penerapannya secara menyeluruh atas umat manusia tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang budaya dan hukum setempat. Deklarasi ini juga menolak klaim nuansa perbedaan HAM antara satu masyarakat dan masyarakat yang lain.
Realitas HAM
HAM hanyalah pemikiran teoritis, pemikiran yang ingin menjunjung langit tetapi kakinya tidak memiliki pijakan di bumi. Pelbagai deklarasi tentang HAM selalu hanya berisi anjuran dan ajakan tentang pentingnya menjaga, melindungi, menghargai, menghormati, menjunjung, dan menegakkan HAM. Deklarasi-deklarasi itu tidak pernah memuat bagaimana semua ide HAM itu bisa ditegakkan. Tidak pernah ada ketentuan tentang bagaimana dan dengan sarana apa HAM bisa ditegakkan. HAM hanya bermain di tataran ide, tidak sampai pada tataran praktis. Dengan kata lain, HAM hanya menjadi asesoris verbal yang manis di lidah tetapi tidak memiliki kejelasan arah. Dalam implementasinya, HAM sangat dipengaruhi oleh kepentingan pihak yang memiliki kekuatan. Dengan kata lain, penerapan HAM tidak terlepas dari kepentingan politik, ekonomi dan ideologi dari negara-negara yang memiliki kekuatan.
Ide-ide HAM tampak sekilas indah karena dia masih dalam tataran filosofis. Ketika ide-ide ini telah dijabarkan dalam aturan-aturan operasional, dalam konvensi-konvensi, serta dengan aturan yang jelas tentang apa yang disebut melanggar HAM, maka ia sudah turun ke tataran juridis. Di sinilah para perancang hukum positif juga pusing tujuh keliling, karena yang dihadapi adalah naskah-naskah akademis yang bertolak-belakang, meski berangkat dari landasan filosofis yang sama.
Ketika di level juridis saja sudah bias, apalagi di persepsi yang akan didapat oleh orang-orang yang melaksanakannya, seperti aparat hukum, peradilan, tentara atau rakyat jelata. Berikut beberapa contoh ketidakoknsistensinya HAM:
Dalam hal kebebasan beragama: terjadi larangan Jilbab di sekolah publik di Turki dan Prancis.
Dalam hal kebebasan berpendapat: terjadi pembatasan media massa (kasus cekal AS atas Aljazeera); sanksi bagi yang mengkritisi klaim adanya Genocida Yahudi Armenia pada zaman Khilafah Utsmani. Di Jerman, orang yang mengkritik Israel bisa dipidana dengan delik antisemit.
Dalam hal jaminan terhadap minoritas: kondisi umat Islam Eropa dan Amerika yang makin terjepit terutama sejak 11 September 2001. Di banyak negara Eropa, umat Islam tidak mendapat hak libur saat hari raya. Mereka harus mengorbankan hari cutinya.
Dalam hal jaminan keadilan dan persamaan: adanya diskriminasi (pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, dll) atas dasar kekuatan modal.
Dalam hal jaminan terhadap hak-hak hidup manusia: ada agresi bersenjata dari negara atas rakyat sipil Palestina, Irak, dan Afganistan, termasuk wanita dan anak-anak yang mengungsi di kamp-kamp pengungsian.
Dalam hal jaminan terhadap keadilan hukum: ada tahanan kasus terorisme di Guantanamo dan beberapa penjara rahasia di Eropa yang tak boleh dijenguk, didampingi pengacara dll.
Buah Busuk Kebebasan Berperilaku di AS
AS sebagai negara utama yang mengusung HAM, ternyata dalam praktek pelaksanaannya membuahkan hasil yang ironis, berikut beberapa contoh perlakuan HAM di AS yang kebablasan:
Di AS, terjadi 1,5 juta aborsi (1988). Menurut Guttamacher Institute, hampir 60% dari kaum wanita AS berusia di bawah 25 tahun pernah mengalami aborsi.
AS adalah negara nomor satu dalam jumlah penderita AIDS, dengan total kasus 296.412, dan angka kumulatif 81.0 per 100.000 penduduk (hingga 1991).
Setiap tahun, 2,4 juta rakyat AS menikah dan 1,2 juta bercerai, atau 4,8 per 1000 penduduk/tahun.
Di AS, lebih dari separuh dari 3/4 jumlah keluarga dengan anak-anak yang bergantung pada orangtuanya, dipimpin oleh orangtua-tunggal yang adalah wanita.
Dua puluh lima juta juta pelaku penyimpangan seksual di AS menuntut pengesahan perkawinan sejenis dan menuntut hak-hak yang sama seperti perkawinan normal.
Satu juta orang di AS telah melakukan hubungan seksual dengan keluarga mereka sendiri (incest), baik dengan ibu, anak perempuan, maupun saudara perempuan mereka.
Tujuh puluh lima persen orang Inggris adalah anak hasil zina.
Sekitar 70% remaja AS menganggap hubungan seks di luar nikah dapat dibenarkan apabila keduanya saling mencintai.
[Sumber: Andrew L. Shapiro. Amerika Nomor 1: Kondisi AS yang Kontradiktif dan Ironis. 1995. Jakarta: Pustaka Firdaus].
Hak Azasi Dalam Ekonomi
Pemikiran, mengenai hak azasi manusia ini dalam aktivitas ekonomi di sebut juga kapitalisme. Kapitalisme adalah sistem ekonomi bebas tanpa batas yang didasarkan secara penuh pada keuntungan, di mana masyarakat bersaing atau berkompetisi dalam batasan-batasan ini. Terdapat tiga unsur penting dalam kapitalisme: individualisme, persaingan (kompetisi) dan perolehan keuntungan. Individualisme penting dalam kapitalisme sebab manusia melihat diri mereka sendiri bukan sebagai bagian dari masyarakat, tetapi sebagai "individu-individu" yang berdiri sendiri di atas kedua kakinya dan harus memenuhi kebutuhan pribadi dengan kerja kerasnya sendiri. "Masyarakat kapitalis" adalah arena dimana para individu bersaing satu sama lain dalam lingkungan yang keras dan tanpa belas kasih. Ini adalah arena yang persis sebagaimana penjelasan Darwin, yang menempatkan hanya yang kuat yang tetap hidup, sedangkan kaum lemah dan tak berdaya akan terinjak-injak dan tersingkirkan; ini juga tempat di mana kompetisi sengit merajalela.
Menurut pola pikir yang dijadikan dasar berpijak kapitalisme, setiap individu - dan ini dapat berupa perorangan, sebuah perusahaan atau suatu bangsa - harus berjuang demi kemajuan dan kepentingannya sendiri. Hal terpenting dalam peperangan ini adalah produksi. Produsen terbaik akan bertahan hidup, sedangkan yang lemah dan tidak cakap akan tersingkir dan lenyap. Yang menjadi pusat perhatian kapitalisme bukanlah manusia, akan tetapi pertumbuhan ekonomi, dan barang, yakni hasil dari pertumbuhan ekonomi ini. Karena alasan tersebut, pola pikir kapitalis tidak lagi merasakan tanggung jawab etis atau memiliki hati nurani terhadap orang-orang yang terinjak di bawah kakinya, yang harus mengalami berbagai kesulitan hidup. Ini adalah Darwinisme yang diterapkan secara menyeluruh pada masyarakat di bidang ekonomi
Dengan menyatakan perlunya mendorong kompetisi di berbagai bidang kehidupan, dan memaklumkan tidak perlunya menyediakan kesempatan atau bantuan bagi golongan masyarakat lemah dalam hal apapun, baik di bidang kesehatan hingga ekonomi, para perumus Darwinisme Sosial terkemuka telah memberikan dukungan "filosofis" dan "ilmiah" bagi kapitalisme. Misalnya, menurut Tille, sosok terkemuka yang mewakili mentalitas kapitalis-Darwinis, adalah kesalahan besar untuk mencegah kemiskinan dengan cara membantu "kelompok-kelompok yang tersingkirkan", sebab ini berarti turut mencampuri seleksi alam yang mendorong terjadinya evolusi.
Dalam pandangan Herbert Spencer, perumus utama teori Darwinisme Sosial, yang memasukkan ajaran pokok Darwinisme ke dalam kehidupan masyarakat, jika seseorang miskin maka ini adalah kesalahannya sendiri; orang lain tidak sepatutnya menolong agar ia bangkit. Jika seseorang kaya, bahkan jika ia mendapatkan kekayaannya melalui cara yang tidak bermoral, maka ini adalah berkat kecakapannya. Oleh karena itu, orang kaya akan bertahan hidup, sedangkan yang miskin akan lenyap. Ini adalah pemandangan yang telah berlaku hampir secara menyeluruh pada masyarakat sekarang dan gambaran ringkas tentang moralitas kapitalis-Darwinis.
Spencer, yang mendukung moralitas ini, menyelesaikan karyanya Social Statistics pada tahun 1850, dan menolak segala bentuk bantuan bagi masyarakat yang diusulkan oleh negara, seperti program pencegahan untuk melindungi kesehatan, sekolah-sekolah negeri, dan vaksinasi wajib. Sebab menurut Darwinisme Sosial, tatanan kemasyarakatan terbangun berdasarkan keberlangsungan hidup bagi yang kuat. Pemberdayaan masyarakat lemah yang menjadikan mereka mampu bertahan hidup adalah pelanggaran terhadap asas ini. Si kaya adalah kaya karena mereka lebih layak hidup; sebagian bangsa menjajah sebagian yang lain dikarenakan pihak penjajah lebih unggul dari pihak terjajah, manusia dengan ras-ras tertentu menjadi bawahan dari ras-ras lain karena tingkat kecerdasannya yang lebih tinggi. Spencer menerapkan doktrin ini dengan sungguh-sungguh pada masyarakat manusia, "Jika mereka benar-benar layak untuk hidup, mereka akan hidup, dan memang sebaiknya mereka harus hidup. Jika mereka benar-benar tidak layak untuk hidup, mereka akan mati, dan adalah yang terbaik jika mereka harus mati"
Graham Sumner, Professor Ilmu Politik dan Sosial di Universitas Yale, adalah juru bicara Darwinisme Sosial di Amerika. Dalam salah satu tulisannya, ia merangkum pandangannya tentang masyarakat manusia, “...jika kita mengangkat seseorang ke atas kita harus memiliki tumpuan, yakni titik reaksi. Dalam masyarakat ini berarti bahwa untuk mengangkat seseorang ke atas maka kita harus mendorong seseorang yang lain ke bawah” -seperti panjat pinang.
Berdasarkan kebebasan berkepemilikan, setiap orang berhak memiliki segala sesuatu sesuka hatinya dan menggunakan segala sesuatu miliknya itu sekehendaknya selama tidak melanggar hak-hak orang lain. Setiap orang berhak memiliki segala sesuatu, baik secara halal maupun haram. Setiap orang berhak menggunakan atau mengelola apa saja yang dia miliki. Seseorang berhak memiliki barang-barang yang termasuk dalam pemilikan umum seperti ladang minyak, tambang besar, pantai dan sungai-sungai, air yang dibutuhkan masyarakat, dan properti lain yang menjadi hajat hidup orang banyak. Akibatnya, terjadi akumulasi kekayaan yang melimpah-ruah di tangan segelintir orang. Dengan kelebihan kekayaan tersebut, mereka berubah menjadi satu kekuatan hegemonik yang menguasai dan mengendalikan masyarakat dan negara, baik dalam urusan politik dalam negeri maupun luar negerinya.
Banyak argumentasi yang dimunculkan oleh pengagum HAM adalah, bahwa dengan HAM manusia dapat menentukan tujuan hidupnya sampai pada taraf menentukan dan berhak untuk hidup layak, minimal terpenuhi kebutuhan asasinya: yakni kemerdekaan untuk hidup, terpenuhi sandang, pangan, papan. Namun angka statistik kemiskinan dunia menunjukkan ketimpangan yang sangat lebar antara setiap orang. Simak saja statistika berikut ini:
3 orang terkaya di dunia, kekayaannya lebih besar dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin dunia, yang berarti setara dengan seperempat jumlah total negara di dunia
Menurut penelitian Noam Chomsky, 1% penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia setara dengan 60% penduduk pendapatan terendah dunia, yaitu sama dengan 3 miliar manusia.
20% penduduk di Negara-negara maju mengkonsumsi 86% dari total konsumsi barang dunia
48 negara termiskin hanya mendapt kurang dari 0,4% dari ekspor global
kurang lebih 790 juta orang di dunia berkembang masih kekurangan gizi atau pangan, hampir 2/3-nya berada di kawasan Asia Pasifik.
50 juta orang terkaya di eropa dan amerika utara memiliki pendapatan yang sama dengan 2,7 milyar orang miskin.
Bagian yang dikuasai oleh 1% orang terkaya setara, dengan yang dinikmati oleh 57%termiskin.


Kesimpulan
Sebagai sebuah sandaran penghargaan terhadap manusia, HAM tidak terlepas dari konsep ruang dan waktu yang membentuknya. Namanya muncul pada masa abad gelap dunia eropa barat yang abai terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan. Ia muncul sebagai bentuk refleksi dialektis dari kungkungan tirani raja-raja dan kejumudan dogma gereja yang menggelikan. Pada perjalanan sejarahnya, ide HAM berhasil sebagai peroboh tirani dan penindasan tersebut. Namun, ternyata perjalanan HAM ini juga memberikan akses yang negatif bagi kemanusiaan. Implementasi HAM dalam kehidupan sosial dan politik memberikan kita realitas yang ironis tersebut dan dalam kehidupan ekonomi memberi kita bukti hal tersebut pada satu sisi.



Referensi:
Dr. Muhammad Ahmad Mufti dan dr. Sami Salih Al Wakil. HAM Menurut Barat, HAM Menurut Islam. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor. 2005
Harun Yahya. Bencana Kemanusiaan Akibat Darwinisme. Global Cipta Media Publishing. Jakarta.2002
Jurnal Al Waie No. 76.Tahun.VII. Desember. 2006
Keyley.JR & Euegene R. Witt. World politic: Trend And Transformation. 9th. Wads. Worth, United States of America. 2004.
Khilafah Magazine, Juli 2006, Angka-Angka Dan Statistika Kemiskinan